Integritas Pribadi dan Bangsa

Integritas berasal dari bahasa Inggris “integrity” yang berarti kondisi yang lengkap dan tidak terpecah (The state of being whole and undivided). Pribadi yang memiliki integritas adalah pribadi yang memiliki keutuhan, tidak setengah-setengah, hipokrit, kontradiktif, ambigu atau mencla-mencle. Ia adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan.

Seringkali integritas didentikkan dengan kejujuran. Kejujuran dan konsistensi antara perkataan dan perilaku adalah wujud yang paling tegas dari sebuah integritas. Tetapi integritas – lebih dari itu – adalah kualitas pribadi yang meliputi segala nilai-nilai positif yang terkoneksi dan berfungsi dengan baik, sehingga pribadi yang berintegritas menjadi pribadi yang kuat, karena semua yang diyakininya diterjemahkan dengan baik oleh perkataan dan sikapnya.

Integritas seseorang terlihat ketika prinsip yang dia anut harus berhadapan dengan kepentingan sempit. Ketika seseorang berani mengorbankan kepentingan sesaat demi mempertahankan prinsip, itulah sebuah integritas. Ketika seseorang memikirkan kepentingan bersama dan mengalahkan kepentingan dirinya, itulah integritas. Ketika seseorang mempertahankan kebenaran dengan segala resikonya, itulah integritas.

Sikap oportunis, aji mumpung, cari aman, menjilat penguasa atau pengusaha, tak akan dilakukan oleh manusia berintegritas.

Integritas tumbuh dari seseorang yang memiliki keberanian berkorban dan menghadapi resiko demi mempertahankan kebenaran dan kehormatan. Sebaliknya, integritas tidak akan muncul dari seorang pengecut, rakus atau egois.

Dalam ajaran Islam, kecintaan yang sangat terhadap dunia dianggap sebagai sebuah kelemahan (al-wahn), karena seseorang yang berlebihan mengejar dunia, akan sulit berkorban, takut resiko dan bermental kerdil. Sebaliknya, manusia yang beriman kuat terhadap hari akhir, percaya terhadap janji dan pertolongan Allah, dia tidak akan ragu untuk mempertahankan kebenaran yang dia yakini meskipun harus beresiko kehilangan nyawa sekalipun.

Penanaman akidah yang benar sejatinya akan mewujudkan manusia berintegritas. Tetapi jika pelajaran akidah hanya sekedar teori dan pengulangan terhadap permasalahan-permasalahan teologis, maka jauh panggang dari api.

Kita banyak menghafal kisah-kisah teladan, kisah keteguhan Nabi Ibrahim yang berani dibakar demi mempertahankan akidah, kisah keberanian Nabi Musa menghadapi kekuasaan Fir’aun yang zalim, kisah kesabaran Nabi Isa, kisah keteguhan Nabi Muhammad, kisah Bilal, Ammar bin Yasir, dan seterusnya.

Bangsa kita juga punya kisah-kisah integritas yang kaya, kisah keteguhan Panglima Diponegoro, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Sultan Hasanudin, Panglima Sudirman, KH Agus Salim dan seterusnya, deretan tokoh nasional yang panjang, yang menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang memiliki sejarah integritas yang berakar kuat.

Berjalan dengan waktu, hedonisme Epicurus, oportunisme Machiavelli, dan kelicikan Arya Sengkuni banyak menjangkiti dan mengikis bangunan integritas manusia Indonesia. Uniknya itu semua menyeruak setelah seruan revolusi mental dicanangkan. Revolusi apa yang diserukan itu? Materialisme Marx, atheisme Nietzsche dan kebrutalan Lenin?

Dari ujung kanan juga muncul manusia-manusia yang siap membela siapa saja yang bayar, mendukung siapapun yang lebih dekat kepada kekuasaan. Apapun yang dilakukan sang penguasa bisa dilegitimasi.

Di pojok sana dan sini, ada yang selalu memilih sikap abu-abu. Mereka merasa lebih cerdas untuk selalu berpikir di luar kotak. Berbungkus retorika indah, mereka menyembunyikan pragmatisme busuk. Mereka tidak merasa bahwa mereka tidak pernah berpikir di luar kotak pragmatisme mereka.

Integritas ternyata bukan hanya masalah nyali, ternyata juga masalah wawasan. Ketika seseorang hanya mampu melihat kepentingan dari sudut pandangnya sendiri, dia akan egois. Tetapi jika dia melihat kepentingan umum, berpikir jauh demi generasi masa depan, ia akan dengan mudah merangkum orang lain dan siap mengakui orang lain.

Integritas juga masalah kedewasaan dan kematangan. Seseorang yang menderita inferiority complex, merasa rendah diri, seringkali beranggapan bahwa nilai kepribadiannya menjadi meningkat dengan adanya uang di kantong, dengan gaya penampilan yang mentereng atau jabatan prestisius. Kemiskinan jiwa berusaha ditutupi dengan bungkusan-bungkusan palsu.

Lemahnya integritas juga mencul dari lemahnya iman. Ketika seseorang merasa bahwa pandangan manusia lebih penting dari pada pandangan Tuhan kepadanya, ia tidak ragu-ragu menipu, berbohong, menikam dari belakang, bersembunyi dari pandangan manusia dan lupa akan pandangan Allah kepadanya.

Kecenderungan untuk selalu memilih yang mudah, tidak berani menghadapi kesulitan, ngebet untuk mendapatkan hasil yang cepat, itu semua membuat manusia menjadi lemah, bodoh dan akhirnya tidak berintegritas.

Dalam memilih pemimpin juga demikian. Ketika pemilih hanya berfikir pendek, tidak mampu melihat persoalan secara integral, dan tidak punya wawasan untuk dapat menilai dan menimbang, pilihan akhirnya jatuh kepada orang yang membayar murah, untuk kemudian dikembalikan dengan mengkorupsi uang rakyat yang sudah ditipu dahulu.

Integritas pemimpin muncul dari integritas bangsa. Bangsa yang kuat memegang prinsip, selalu mendahulukan kepentingan umum, dan tidak mudah tergoda atau tertipu dengan keuntungan sesaat, itulah bangsa yang mampu memunculkan pemimpin berintegritas. (fij)

Makkah, 13 Shafar 1439 / 2 November 2017

 

#serial_pembinaan_karakter

Tinggalkan komentar